
REFLEKSI PERJALANAN NUMBU MAMBORO DI SUMBA TENGAH
Oleh: Ifana Tungga
Ada dua hal paling berkesan yang saya temui selama melakukan perjalanan di Sumba Tengah dalam rangka mencari tahu soal tradisi megalitik yang masih dilakukan oleh masyarakat. Pertama adalah ketulusan dan kerendahan hati dari masyarakat adat yang menjaga tradisi mereka. Kedua bagaimana masyarakat adat mengedepankan kepentingan kelompok di atas ego pribadi atau individu.
Kampung Adat Wawarongu dan Ketulusan Menjaga Warisan Nenek Moyang
Kampung Adat Wawarongu merupakan salah satu tempat terakhir yang kami kunjungi dalam proses penelusuran tradisi megaltik di Mamboro. Saya menghabiskan waktu yang sangat singkat, kurang lebih satu setengah jam, untuk bercerita dengan Bapak Kalendi Dasa Ngara, salah seorang pemimpin di Kampung Adat Wawarongu. Pertemuan dan percakapan dengan beliau begitu berkesan bagi saya karena terjadi setelah sebelumnya saya mewawancarai orang-orang dan melihat berbagai bentuk kubur batu yang begitu megah di Sumba Tengah. Apalagi tepat sebelum bercerita dengan beliau, saya juga berkesempatan mewawancarai Nene Onja yang bercerita secara detail mengenai betapa banyaknya persiapan yang harus dilakukan oleh orang Sumba untuk membuat satu kubur batu. Dari percakapan-percakapan tersebut saya mendapatkan kesan bahwa tradisi kubur batu merupakan sesuatu yang hanya mungkin dilakukan oleh keluarga atau kelompok masyarakat yang memiliki modal besar, maupun memiliki posisi penting dalam masyarakat. Percakapan yang singkat dengan Bapak Kalendi Dasa Ngara di Kampung Adat Wawarongu membuat saya melihat tradisi kubur batu dengan cara yang berbeda dibanding sebelumnya.
Kubur batu yang ada di dalam Kampung Adat Wawarongu berbentuk sangat sederhana, hanya terdiri dari sebuah batu berbentuk seperti bulat telur yang diletakkan di atas tanah. Ada juga kubur batu yang terdiri dari beberapa bagian lain seperti sebuah batu berbentuk papan dengan empat tiang penyangga, tetapi ini pun berbentuk begitu sederhana dibanding kubur batu sebelumnya yang sempat saya lihat. Hanya ada beberapa rumah di dalam Kampung Adat Wawarongu. Rumah adat yang seharusnya menjadi tempat penyimpanan Marapu juga sempat rusak sehingga harus dibongkar dan sedang menunggu perbaikan yang rencananya akan dilakukan tahun ini. Untuk sementara Marapu disimpan di rumah yang didiami oleh Bapak Kalendi. Oleh karena Kampung Adat hanya boleh ditinggali oleh penganut Marapu, tidak banyak yang tinggal di sana. Anak kandung dari Bapak Kalendi bahkan tidak lagi menganut Marapu sehingga harus tinggal di luar kampung.
Percakapan dengan Bapak Kalendi menyadarkan saya bahwa bagi masyarakat adat, menjaga tradisi merupakan sebuah bentuk penghormatan tertinggi yang bisa dilakukan oleh mereka yang masih hidup kepada para leluhur. Ketika mereka menjaga tradisi kubur batu, mereka melakukannya untuk sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur. Demikian juga ketika menjaga kepercayaan Marapu, mereka melakukannya karena itu merupakan warisan berharga yang diberikan dari nenek moyang kepada mereka. Percakapan dengan Bapak Kalendi membuat saya merasakan ketulusan dari masyarakat adat.
Kampung Kalala dan Kampung Kasusu, Penjaga Pengetahuan Adat
Dalam masyarakat modern, pengetahuan biasa diasosiasikan sebagai atribut personal. Masing-masing individu memiliki pengetahuannya sendiri dan mereka bebas untuk mengembangkan dan menyebarkan pengetahuan itu demi kepentingannya sendiri. Masyarakat di Kampung Kalala dan Kampung Kasusu menunjukkan yang sebaliknya. Pengetahuan adalah milik komunitas dan harus dijaga bersama oleh komunitas pemilik pengetahuan itu, dalam hal ini juga termasuk melibatkan leluhur mereka dalam semua proses yang berkaitan dengannya.
Kampung Kalala dan Kampung Kasusu merupakan tempat pertama yang kami kunjungi di Mamboro. Kami tiba di sana dan berencana untuk mewawancarai tokoh adat keesokan harinya, tetapi rencana kami harus tertunda karena sebelum melakukan wawancara kami harus mengikuti prosesi adat untuk meminta ijin kepada leluhur mengenai kegiatan wawancara yang akan kami lakukan.
Proses adat ini diikuti oleh Ajeng, pemimpin proyek ini, selama satu hari mulai dari pagi hingga malam. Setelah dipastikan bahwa leluhur merestui kegiatan wawancara yang akan kami lakukan, kami baru bisa melakukan wawancara keesokan harinya. Proses wawancara berjalan di luar ekspektasi saya. Semua tokoh adat di Kampung Kalala dan Kampung Kasusu menemani kami dan secara bergantian menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami berikan.
Dari kegiatan wawancara yang kami lakukan di Kampung Kalala dan Kampung Kasusu, saya belajar bahwa pengetahuan pada hakekatnya bukan atribut individu. Apa yang kita ketahui sekarang bukan secara tiba-tiba kita miliki melainkan adalah hasil warisan dari orang-orang yang sudah mendahului kita. Itu yang dipercayai oleh masyarakat Kampung Kalala dan Kampung Kasusu.
Mereka selalu menekankan kepada kami bahwa apa yang mereka sampaikan kepada kami merupakan warisan dari nenek moyang, oleh karenanya mereka harus meminta ijin terlebih dahulu kepada nenek moyang sebelum memberitahukan hal tersebut kepada kami.
Demikian juga, karena pengetahuan bukan merupakan atribut individu, sebelum kami berada di sana dan melakukan wawancara, para tokoh adat bermusyawarah terlebih dahulu untuk memutuskan apakah mereka sepakat untuk menerima kunjungan kami atau tidak. Itu semua dilandasi oleh pemahaman bahwa pengetahuan tersebut bukan milik individu yang bisa diberikan kepada orang lain dengan sebebasnya. Keputusan kolektif menjadi penting dan di situ tergambar tanggungjawab dan penghargaan yang tinggi pada kepentingan komunitas di atas ego individu.
Penutup
Perjalanan penelusuran NUMBU MAMBORO mengenai sejarah, pola hidup, dan tradisi megalitik masyarakat Mamboro tidak hanya memberikan kepada saya pengetahuan mengenai hal-hal tersebut. Dalam penelusuran ini saya juga terinspirasi dari nilai-nilai berharga yang dianut oleh masyarakat adat yang tampaknya sudah semakin pudar dalam masyarakat modern yang begitu individualistis hari-hari ini.
