“Catatan Perjalanan Riset Numbu Memborong” ; Oleh : Blesontruses Boymau

Posted by : detikcom March 12, 2025

 

Catatan Perjalanan Riset Numbu Mamboro

Oleh : Blesontruses Boymau

Kupang, DETIK45  ||Kesempatan untuk melakukan perjalanan dan riset di Sumba merupakan kesempatan yang sangat berarti dan berharga bagi saya. Sumba sangat terkenal dengan keindahan alam dan keunikan budaya luar biasa. Hal itu membuat banyak orang ingin pergi ke sana. Apalagi orang seperti saya yang tinggal di Kota Kupang yang berada dalam satu provinsi dengan Sumba, membuat keinginan saya makin besar untuk pergi ke sana. Bergabung dalam Tim Riset Numbu Mamboro memberikan kesempatan bagi saya untuk melakukan perjalan ke Sumba. Tentu hal ini tidak akan saya lewatkan.

Persiapan dan Keberangkatan ke Sumba
Satu bulan sebelum melakukan perjalanan ke Sumba kami melakukan riset awal tentang tempat yang akan kami kunjungi, untuk bisa mempersiapkan diri sebelum perjalan ke sana. Riset awal ini juga membantu kami untuk mengetahui hal-hal apa yang boleh dan tidak boleh kami lakukan di sana. Berhubung perjalanan riset ini akan di lakukan di tempat-tempat yang masih memiliki tradisi budaya yang kuat, maka ada hal hal yang harus kami ketahui sebelum pergi ke sana.

Hari yang saya nanti nantikan akhirnya tiba. Tanggal 23 Maret 2024 kami, Tim Riset Numbu Mamboro berangkat ke Sumba menggunakan Kapal Laut. Kami menggunakan Kapal Dharma Kartika V, kapal yang baru saja beroperasi dengan fasilitas yang sangat lengkap dan terbilang cukup mewah di antara kapal-kapal lain yang beroperasi di NTT. Hal ini membuat momen perjalanan pertama saya ke sumba makin berkesan.

Setelah menempuh perjalanan laut selama kurang lebih 20 jam, dan sempat singgah di pelabuhan Ende kami akhirnya tiba di Pelabuhan Waingapu Sumba Timur, jam tujuh pagi. Kami dijemput oleh Om Sius dan Om Indra yang akan mengantar dan menemani kami selama perjalanan riset di Sumba.Proses riset Numbu Maboro akan berfokus di Kecamatan Mamboro, Kabupaten Sumba Tengah. Karena itu, setelah dari pelabuhan kami langsung bergegas untuk menuju ke Kabupaten Sumba Tengah.

Sambutan Hangat dari Pulau Sumba
Sebelum melakukan perjalanan ke Sumba Tengah kami di ajak Om Indra untuk sarapan di tempat makan nasi kuning yang katanya paling enak di Waingapu. “Nasi Kuning Global”, begitu kata orang Waingapu menyebut tempat nasi kuning ini. Setelah membeli nasi kuning kami pergi ke perbatasan kota Waingapu, tempat itu biasa disebut patung kuda. Mungkin karena ada patung kuda di gapura perbatasannya. Di bawah patung kuda yang berada lebih tinggi dari kota waingapu kami menikmati Nasi Kuning Global sambil melihat hamparan padang dan Kota Waingapu dari ketinggian. Momen ini menjadi sebuah sambutan awal yang sangat hangat dari pulau Sumba.

Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Sumba Tengah. Kami sempat singgah sebentar ke Bukit Wairinding. Bukit ini merupakan salah satu destinasi wisata yang sangat populer di Sumba. Dan memang benar keindahan bukit ini sesuai apa yang saya ekspektasikan melalui apa yang saya sering lihat di Instagram. Hamparan bukit yang bergelombang dengan rumput hijau membuat tempat ini sangat indah. Seekor kuda bernama Putri selalu siap di sana untuk menemani pengunjung berfoto. Setelah itu kami melanjutkan perjalanan ke Sumba Tengah selama tiga jam.

Menelusuri Tradisi
Kami tiba di Kecamatan Anakalang, Sumba Tengah kurang lebih jam sebelas siang, dan langsung berangkat ke rumah narasumber pertama. Saat tiba di rumah narasumber pertama, pandangan saya langsung fokus ke sebuah batu kubur besar dengan tinggi kurang lebih empat meter, lebar sekitar tujuh meter dan panjang sembilan meter. Tentu bagi orang yang baru pertama kali melihat batu kubur seperti ini, ini menjadi sangat menarik.

Tuan rumah menyambut kami dengan suguhan sirih pinang dan kopi tubruk sumba untuk mengawali perbincangan. Setelah itu kami memulai proses wawancara tentang tradisi batu kubur yang ada di Sumba dengan Bapa Umbu Neka. Batu kubur yang besar adalah bentuk penghargaan orang sumba terhadap seorang manusia. Setelah wawancara yang kami lakukan ini saya menyadari betapa bermartabatnya Orang Sumba sebagai manusia.

Setelah proses wawancara, kami pergi ke penginapan untuk beristirahat setelah melewati hari yang sangat panjang ini, dan mempersiapkan rencana perjalanan riset untuk hari-hari berikutnya. Di hari berikutnya kami bangun pagi dengan disambut kabut yang membuat suasana pagi sangat sejuk. Hari ini kami mengawali riset dengan pergi berkunjung ke Dinas Pariwisata Kabupaten Sumba Tengah untuk berdiskusi dan mengambil beberapa foto dan video sebagai bahan pendukung riset.

Riset kemudian dilanjutkan ke rumah seorang pemusik yang melestarikan musik tradisional sumba dengan alat musik jungga. Pak Elson sangat lihai memainkan jungga dengan lantunan syair lokal tentang kebudayaan sumba. Melalui Pak Elson dna Om Yon kami melihat betapa musik dan syair syair budaya sangat dekat dan dicintai oleh masyarakat Sumaba.

Menapaki Kampung Adat
Kami mengakhiri riset di Anakalang dengan makan lalapan di warung lamongan dan bersiap menuju ke desa Wee Luri. Perjalan dari Anakalang ke Wee Luri memakan waktu sekitar dua jam. Sekitar jam delapan malam kami tiba di penginapan di Wee Luri. Kami menginap di rumah salah satu kerabat dari anggota tim riset yang bernama Mama Ida. Mama Ida menyambut kami dengan kopi panas dan jamuan makan malam ayam kuah kampung, yang membuat malam yang dingin ini menjadi sangat hangat.

Keesokan harinya kami melanjutkan proses riset di Kampung Kasusu dan Kalala yang berada di Desa Wee Luri. Namun sebelum seluruh tim riset pergi ke kampung tersebut, harus dilangsungkan beberapa ritual terlebih dahulu oleh penunggu kampung tersebut untuk memohon restu para leluhur. Baru setelah ritual itu dilaksanakan kami boleh melakukan riset di sana.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit dengan berjalan kaki dan menanjak, kami akhirnya tiba di Kampung Kalala. Puluhan batu kubur yang teesebar di sekitar kampung ini, menandakan peradaban dan budaya yang sudah sangat lama ada di kampung ini.

Kami disambut dengan hangat oleh masyarakat adat di kampung ini di rumah adat mereka. Kami di persilahkan duduk di tikar adat dan memulai perbincangan. Proses wawancara kami di Kalala di lakukan bersama Bapa Ari yang merupakan salah satu tetua di kampung tersebut. Hujan yang turun waktu itu membuat suasana di Kampung Kalala menjadi sangat eksperimental bagi saya. Selama wawancara kami ditemani suguhan kopi tubruk khas sumba, dan di akhir proses wawancara kami disuguhi lagi makanan khas sumba dari hasil olahan jagung dan labu yang bernama rowe kariwa.
Setelah proses wawancara di Kalala kami melanjutkan ke Kampung Kasusu. Kampung Kasusu berada di di dekat kampung Kalala namun letaknya sedikit lebih tinggi. Kampung Kasusu juga sering disebut kampung petir. Membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk kami berjalan menuju puncak bukit di mana kampung Kasusu berada.

Di Kasusu kami melihat pemandangan yg sedikit berbeda dengan yang ada di Kalala. Terdapat rumah adat besar yang bernama Uma Adung yang merupakan rumah adat utama dari Kabisu Maneka. Orang-orang yang tinggal di di Kasusu dan Kalala merupakan orang dari Kabisu Maneka.

Kami melakukan proses wawancara di Kasusu bersama Bapa Melson yang merupakan turunan ke tujuh dari leluhur Kabisu Maneka yang tiba di Kasusu. Proses wawancara berjalan cukup intim dan mendalam karena di sini kami diceritakan secara lengkap dan terperinci tentang adat istiadat budaya dan sejarah dari Kabisu Maneka. Sungguh sebuah sebuah cerita yang membuat saya sangat kagum dengan sejarah dan kebudayaan di sana.
Setelah mengakhiri proses wawancara di Kasusu kami kembali lagi ke Kampung Kalala. Sesuai peraturan budaya yang ada di sana kami harus mengakhiri proses riset kamu dengan ritual di Kalala. Ritual di Kalala di lakukan bersama Rato. Ritual ini dilakukan untuk berterimakasih kepada leluhur yang sudah mengizinkan proses ini dilakukan di Kampung itu.

Proses ritual di akhiri dengan makan adat yang kami lakukan bersama. Menunya adalah nasi bersama ayam kuah kampung. Sungguh ayam kuah kampung di sumba sangatlah nikmat dengan rasa khasnya. Setelah menyantap makan, kami mengakhiri proses riset di sini dan kembali ke penginapan. Sambutan hangat dan jamuan dari masyarakat di Kasusu dan Kalala sangatlah membekas bagi saya sebagai orang yang baru pertama kali pergi ke sana.

Kami kembali ke rumah mama Ida dan mempersiapkan diri untuk pergi ke tempat riset yang berada di ibu kota kecamatan Mamboro. Waktu itu hari sudah cukup gelap, kira kira jam tujuh malam. Kami akhirnya berpamitan dengan mama Ina yang sudah menerima kami di rumahnya selama dua hari dengan sangat baik. Mama Ida memperlakukan kami selayaknya anak sendiri. Masakan mama Ida sungguh nikmat dengan bahan bahan seadanya. Terimakasih mama Ida.

Pusat Peradaban Masyarakat Mamboro
Butuh waktu kurang lebih satu setengah jam perjalanan dari Wee Luri ke Ibu Kota kecamatan Mamboro. Sekitar jam sembilan malam kami tiba di penginapan di Ibu Kota Kecamatan Mamboro. Kami menginap di salah satu rumah warga di sana. Ibu kota kecamatan Mamboro berada di pesisir pantai. Suhu di pesisir pantai yang cukup panas membuat saya merasa seperti kembali berada di Kupang. Kami langsung di jamu dengan makan malam dengan menu ikan kuah asam. Sungguh menyenangkan bisa makan ikan segar dari laut Mamboro.

Keesokan harinya kami pergi melakukan riset ke kampung Manua Kalada, yang merupakan kampung tempat berasalnya semua Kabisu yang ada di Mamboro. Yang juga dulu merupakan pusat Kerajaan Mamboro. Saat tiba di Manua Kalada, suasana di sana cukup ramai, karena kedatangan kami di sana bertepatan dengan berlangsungnya proses renovasi dari rumah adat.

Proses wawancara di sana kami lakukan bersama Umbu Anse yang merupakan turunan ke tujuh belas dari nenek moyang yang tiba pertama dan membangun kampung di Mamboro. Kami juga di temani Ama Pertiwi yang merupakan salah satu tetua dari kampung Manua Kalada. Ama Pertiwi mengisahkan tentang perjalanan awal nenek moyang orang Mamboro hingga tiba di Mamboro. Cerita perjalanan itu disampaikan Ama Pertiwi dengan syair adat dalam bahasa Mamboro.
Bercerita dengan syair adat merupakan salah satu budaya orang Sumba yang sangat indah untuk dinikmati. Bagi saya penyampaian syair adat dengan nada yang khas membuat proses penuturan sebuah cerita terasa berhikmat dan sakral.

Melestarikan Kearifan Budaya
Di hari berikutnya kami melakukan riset di kampung Woworongu. Di sana kami bertemu dengan Nene Onya. Nene Onja adalah salah seorang penghuni kampung Woworongu yang masih memeluk kepercayaan marapu. Kami bertemu dan bercerita dengan Nenek Onja di rumahnya. Dari Nenek Onja kami banyak belajar tentang tentang Kepercayaan Marapu. Terutama bagaimana Nene Onja tetap berusaha untuk melestarikan kepercayaan ini, tetapi juga tidak memaksakan kepada keturunannya untuk memeluk kepercayaan ini. Bagi saya ini adalah pemikiran yang sangat luar biasa.

Setelah wawancara dengan Nenek Onja kami mengakhiri riset di Wawarongu dengan pergi berkunjung ke kampung adat Wawarongu. Disana kami ditemani Kaka Yon yang merupakan petugas penjaga kampung tersebut. Waktu itu hari sudah cukup sore saat kami selesai mengakhiri riset di Wawarongu. Sebelum pulang Kaka Yon mengajak kami pergi ke sebuah bukit bernama Bukit Mamboro. Disana kami menikmati pemandangan terbenamnya matahari di antara bukit bukit hijau dan hamparan sawah. Pemandangan yang sangat indah ini yang sebelumnya hanya saya lihat di gambar – gambar kalender, akhirnya bisa saya lihat secara langsung. Sungguh indah kami menutup proses riset di Mamboro.

Keesokan harinya kami menuju ke Desa Wailawa. Di sana kami bertemu dengan orang yang biasa membuat batu kubur. Setelah mewawancarai dan pergi melihat langsung tempat pembuatan batu kubur di desa ini, saya menjadi sadar betapa berharganya batu kubur bagi orang Sumba. Meskipun proses pembuatannya sangatlah susah dan memakan biaya yang cukup mahal, namun orang orang di sumba tetap mempertahankan tradisi ini sebagai nilai budaya yang sangat berarti.

Penutup
Riset Tim Numbu Mamboro berakhir di Desa Wailawa. Sebelum pulang ke Ke Kupang, sembari menunggu jadwal kapal, kami menetap beberapa hari di Sumba Barat dan Sumba Timur sambil pergi mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di dua kabupaten itu.

Perjalanan panjang selama proses riset di Sumba ini memberikan saya banyak pengalaman, pengetahuan dan juga perspektif baru. Tentang bagaimana orang Sumba tetap mempertahankan budaya turun temurun di tengah era globalisasi ini. Budaya mereka tetap mereka jaga dan wariskan kepada generasi berikutnya dengan tidak mengurangi dan merubah sama sekali nilai dan maknanya. Kehidupan masyarakat di Sumba sangat dekat dan tidak terlepas dari budayanya. Budaya dan tradisi di sana menjadi pedoman hidup dalam bermasyarakat.

Alam sumba dengan Segala keindahannya juga menjadi bukti bagaimana orang sumba melestarikan dan menjaganya. Terima kasih untuk alam yang indah, budaya yang indah, dan orang-orang yang ramah. Terima kasih Sumba. Sampai jumpa Kembali.

RELATED POSTS
FOLLOW US